-->

Film Animasi Tak Melulu Buat Anak-anak

Hampir semua stasiun televisi menayangkan film kartun untuk anak-anak. Tapi, tayangan ini harus diwaspadai karena belum tentu cocok buat mereka. Tak habis-habisnya televisi dituding sebagai media kurang edukatif. Dari sisi content, televisi sering membuat gundah para pendidik, intelektual, dan orang tua pada umumnya. Salah satu alasannya: televisi amat dekat dengan anak-anak dan keluarga. Garin Nugroho menyebut "televisi sebagai sekolah di ruang keluarga". Sedangkan guru besar psikologi Universitas Indonesia, Sarlito Wirawan Sarwono menyebut televisi sebagai pemberi pengaruh buruk pada anak-anak. Meski diprotes, "kafilah tetap berlalu".

Salah satu genre program televisi yang patut mendapat sorotan adalah film kartun. Setiap stasiun televisi punya jagoannya masing-masing. Beberapa stasiun TV bahkan menayangkan tiga judul film kartun dengan durasi rata-rata setengah jam setiap hari. Di hari Minggu, jumlahnya bahkan lebih banyak. Indosiar misalnya, menayangkan 10 film kartun di hari libur itu.

Beberapa judul film kartun yang beredar di beberapa stasiun televisi sudah ngetop di hati anak-anak. Sebut saja: Pakemon, Gundam Seed, Detective Conan, Dragon Ball, Crush Gear Turbo Fighter, Ninja Boy (Indosiar), Crayon Sinchan, Mahabharata, Ninja Hatori, Dora Emon, (RCTI), Captain Tsubasa, Tom and Jerry (TV7), Martin Morning (StarANTV), Spongeboob (Global TV). Dora Emon, September lalu rating share-nya 20, disusul Dragon Ball, dan Crayon Sinchan. Setiap film animasi ini menampilkan tokoh jagoannya masing-masing.

Namun dari sekian banyak film kartun yang tayang di stasiun televisi tak sepenuhnya cocok buat ditonton anak-anak. Ada indikasi bahwa film kartun atau animasi diperuntukan juga buat segmen remaja dan dewasa. Batasan peruntukan ini belum diatur secara jelas. Unsur cerita yang tak seharusnya anak tahu, seperti kekerasan, justru sering muncul di film kartun, The Simpson misalnya.
"Tidak hanya animasi, tapi mungkin juga tayangan lainnya. Crayon Shincan sebenarnya kurang cocok buat anak-anak, tapi buat remaja. Tapi banyak anak-anak terlanjur menyukai film animasi ini. Orang tua tidak tahu itu," kata Gotot Prakoso, pengajar animasi di Institut Kesenian Jakarta. Walau sudah ada usaha stasiun televisi mencantumkan kode R (remaja) atau BO (bimbingan orangtua) di sudut layar, pengaruhnya tidak signifikan mengubah sikap orang tua.

Masih menurut Gotot, idealnya tayangan animasi di televisi harus mudah dicerna anak-anak dan kalau ada unsur humornya, jangan terlalu ditonjolkan secara kasar. Buat anak-anak Indonesia, humornya harus lebih soft. Animasi harus ada unsur edukasi, tidak hanya menghibur. "Tapi, pengelola televisi rasanya kurang fair. Mereka melihat hanya dari hiburan dan komersial. Mereka bisa mendatangkan film apa saja, tapi moralnya kurang begitu bagus. Ini yang harus kita rumuskan bersama dengan melibatkan para pendidik," jelas Gotot.

Oleh karena itu, keterlibatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sangatlah diperlukan untuk menangani masalah ini. Gotot tak memungkiri, ada juga beberapa film animasi Jepang yang memang bagus buat anak-anak Indonesia.

Film animasi, dari dulu sampai sekarang, memang tayangan yang tergolong awet. Sejak kemunculannya tahun 1914 lewat Walt Disney, film animasi terus berkembang sehingga bisa dikonsumsi berbagai kalangan. Salah satu contohnya adalah film kartun Popeye, yang konon masih banyak diminati sejak kelahirannya sekitar tahun 1930. Walt Disney memproduksi film kartun tidak hanya untuk anak-anak, tetapi juga remaja dan dewasa. Malah, sebagian, ada beberapa fim kartun disajikan dengan dengan tema-tema berat dan susah dicerna anak-anak.

Film animasi buatan Jepang pun demikian. Beberapa animator Jepang sudah lama membuat animasi buat segmen remaja dan dewasa. Ozamu Tezuka boleh dibilang pelopornya. Animator ini membuat animasi dewasa pada tahun 1969 dengan karya berjudul A Thousand and One Night. Tentu saja, Walt Disney dan Ozamu Tezuka membuat film animasi dewasa punya misi tersendiri bagi konsumennya yang memang berusia dewasa. Tapi yang jadi masalah, disadari atau tidak, sifat dewasa dalam animasi menular pada film animasi yang diperuntukan buat anak-anak, khususnya dari unsur cerita berikut dialog-dialognya dan karakter tokohnya. Akibatnya, terjadi salah kaprah cara pandang, khususnya dari kalangan orangtua. Mereka menyangka bahwa film kartun di televisi bisa dipukul rata untuk dikonsurmsi anak-anak.

Salah kaprah seperti ini membuat sebagian kalangan merasa waspada terhadap animasi impor itu. Kepala Kajian Anak dan Media Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) B Guntarto, seperti dikutip Kompas, menyebut banyaknya film kartun yang ditayangkan stasiun televisi tidak layak dikonsumsi anak usia sekolah, apalagi usia prasekolah. Menurutnya, banyak film kartun yang masuk pada slot acara untuk anak, yang menampilkan adegan, dialog, atau bentuk penggambaran lain yang bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan, misalnya kekerasan verbal dan fisik, seks, mistik, dan kontroversi nilai moral.
Gunarto pun menyoroti materi film-film kartun asal Jepang. "Dalam film kartun Jepang atau anime, banyak terkandung nasihat yang tersembunyi atau implisit. Karakter yang baik bisa jadi jahat, karakter yang jahat bisa jadi baik. Penggambaran
nilai dan moral yang tidak eksplisit itu membuat penonton kartun Jepang harus hati-hati," katanya pada diskusi Film Kartun TV, Hiburan Yang Perlu Diwaspadai yang diselenggarakan Kritisi Media untuk Anak (Kidia) di Jakarta.
Garin Nugroho juga angkat bicara. la mengkhawatirkan banyaknya film animasi impor yang "gentayangan" di layar kaca. Film animasi itu kerap menampilkan unsur kekerasan dan identifikasi karakter tokoh. Anak-anak bisa meniru gaya dan akting tokoh film kartun yang ditontonnya. Padahal film jenis itu belum tentu baik buat perkembangan psikologinya. "Kita perlu kode etik tontonan untuk anak-anak. Tontonan mereka banyak didominasi film kartun impor. Namun, hanya sedikit tayangan anak yang memuat budaya lokal," ujar Garin.

Tak adanya muatan lokal, menurut Gotot, karena stasiun televisi tidak mengeksploitasinya. Film-film animasi yang banyak dijual di pinggir jalan malah lebih banyak mengandung muatan lokal ketimbang film sejenis di layar televisi. "Film-film animasi cerita rakyat clan legenda ternyata pasarnya lumayan juga. Mereka tidak mau masuk ke jaringan televisi karena lewat penjualan VCD profitnya lebih jelas," kata Gotot.

Walau demikian Gatot merasa bangga juga ketika RCTI akhirnya menayangkan film animasi berjudul Mahabharata. Film animasi produksi Studio Urek-urek, Yogyakarta ini sangat kental muatan lokalnya. "Namun, menontonnya harus didampingi orang tua juga, karena penuh dengan unsur filsafat. Anak-anak masih sulit mengerti," kata Gotot.
Salah Persepsi soal animasi menanggapi keberatan banyak pihak atas film animasi, kalangan animator coba memberikan klarifikasi. Menurut mereka, tidak semua animasi itu berdampak negatif. Animasi adalah karya kreatif. Jadi, kalau ada salah persepsi soal ini, harus diluruskan. Seorang animator, Wahyu Aditya, mengatakan bahwa animasi bukan hanya untuk anak-anak. Makanya, kalau ada pendapat bahwa animasi itu berdampak negatif buat anak-anak, yang salah bukan animasinya, tapi cara penyampaiannya, khususnya dari tangan kedua (misalnya pengelola broadcast, PH, orangtua dll). "Animasi itu karya seni yang tidak dibatasi umur. Animasi itu bisa dinikmati secara life time," kata Wahyu, founder & President Director Hello; Motion. Wahyu mengakui, kalau ada film animasi yang memperlihatkan kekerasan, misalnya, ada pertarungan berdarah, dia miris juga dan tidak setuju kalau ditayangkan.

Wahyu juga sependapat bahwa film animasi perlu dimasuki muatan lokal. Masalahnya, film animasi bermuatan lokal sulit menembus birokrasi televisi. Mereka lebih memilih film animasi dari luar yang harganya lebih murah. "Mereka bisa beli dengan harga sekitar 10 juta per episode. Sedangkan kalau film animasi buatan lokal harganya lebih mahal," katanya.***